Desakan Publik Menguat, Ketua DPRD Kuansing Diminta Tindaklanjuti Dugaan Penghinaan Wartawan oleh Desi Guswita

Desakan publik agar DPRD Kuansing dan PKB menindak Anggota DPRD Desi Guswita kian menguat. Ia diduga menghina wartawan dalam grup WA publik saat investigasi kasus desa.

Desakan Publik Menguat, Ketua DPRD Kuansing Diminta Tindaklanjuti Dugaan Penghinaan Wartawan oleh Desi Guswita
Desakan Publik Menguat, Ketua DPRD Kuansing Diminta Tindaklanjuti Dugaan Penghinaan Wartawan oleh Desi Guswita

JAGOK.CO – KUANTAN SINGINGI – Sorotan publik terhadap dugaan penghinaan profesi wartawan oleh Anggota DPRD Kuantan Singingi, Desi Guswita, kian membesar. Gelombang desakan dari elemen masyarakat dan komunitas pers lokal mengalir deras, menuntut Ketua DPRD Kuansing, Juprizal, dan Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD, Hardiamon, segera menindaklanjuti laporan resmi yang telah dilayangkan oleh Ketua PW MOI Kuansing, Sugianto.

Laporan tersebut masuk ke Sekretariat DPRD Kuansing pada 19 Juni 2025, berisi dugaan penghinaan terhadap wartawan, di mana Desi Guswita disebut-sebut melontarkan kata “hama” kepada Sugianto dalam percakapan grup WhatsApp publik yang beranggotakan ratusan tokoh masyarakat, adat, dan agama. Ucapan tersebut dinilai tidak hanya menyerang martabat pribadi seorang jurnalis, namun juga merendahkan profesi pers secara umum serta mengganggu etika kelembagaan legislatif daerah.

Ini bukan sekadar urusan pribadi antarindividu. Ini soal integritas lembaga dan kehormatan profesi wartawan. DPRD jangan sampai menjadi tempat tumbuhnya arogansi kekuasaan. Kami menuntut tindakan tegas dan terbuka dari Ketua DPRD dan BK,” tegas seorang aktivis pemuda Kuansing yang aktif mengawal kasus ini.

Sugianto menjelaskan bahwa pernyataan kasar dari Desi terjadi saat dirinya tengah melakukan investigasi jurnalistik terhadap dugaan penyalahgunaan dana desa di Sungai Bawang—desa yang dipimpin oleh suami Desi Guswita. Hal ini menimbulkan dugaan conflict of interest, sekaligus indikasi upaya pembungkaman terhadap kerja jurnalistik yang dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.


Tuntutan PAW Mengemuka: PKB Diminta Evaluasi Etik Kader

Tidak hanya DPRD, publik kini turut mendesak internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai pengusung Desi Guswita. Masyarakat meminta Ketua DPC PKB Kuansing untuk mengevaluasi posisi Desi secara etis dan mempertimbangkan mekanisme Pergantian Antar Waktu (PAW).

Seorang wakil rakyat harus bisa menjaga tutur kata dan tidak menganggap kritik sebagai ancaman. Bila menyebut wartawan sebagai ‘hama’ saat dikritik, bagaimana mungkin ia layak mewakili rakyat?” kata seorang tokoh masyarakat Desa Kari yang memilih tidak disebutkan namanya.

Desakan PAW ini lahir dari kekecewaan terhadap perilaku yang dinilai tidak mencerminkan etika pejabat publik. Harapan masyarakat kini bergeser ke arah hadirnya wakil rakyat yang berintegritas, santun, dan memiliki kesadaran etis dalam komunikasi politik.


Menjaga Stabilitas dan Marwah DPRD Kuansing

Meningkatnya tekanan publik membuat banyak kalangan memperingatkan bahwa stabilitas kelembagaan DPRD Kuansing bisa terganggu jika laporan ini dibiarkan tanpa penanganan transparan. “Kami tak ingin DPRD jadi arena konflik personal. Bila tidak ada ketegasan dari Ketua DPRD dan BK, kepercayaan rakyat terhadap lembaga ini akan runtuh perlahan,” ujar seorang aktivis mahasiswa di Teluk Kuantan.

UU Pers dengan jelas menyebutkan bahwa kerja jurnalistik tidak boleh dihalangi, dihina, atau ditekan, baik secara verbal maupun sistematis. Sementara itu, BK DPRD memiliki wewenang konstitusional untuk menegakkan etika dan moral anggota dewan, terutama jika terjadi pelanggaran yang mencoreng nama institusi.


Momentum Ujian Etika: Dewan dan Partai Diuji di Mata Rakyat

Kini, seluruh perhatian masyarakat tertuju pada langkah konkret Ketua DPRD Kuansing dan Ketua BK DPRD. Keputusan mereka akan menjadi penanda sejauh mana keberanian lembaga legislatif ini dalam menegakkan prinsip etik, profesionalisme, dan akuntabilitas publik.

Di sisi lain, PKB Kuansing juga menghadapi ujian politik internal: memilih mempertahankan loyalitas terhadap kader bermasalah, atau berpihak pada aspirasi publik yang menginginkan pejabat yang etis dan bertanggung jawab.

Masyarakat Kuansing, yang semakin kritis dan melek informasi, tidak lagi mentolerir perilaku tidak etis dari wakil-wakilnya. Mereka menuntut agar parlemen lokal diisi oleh orang-orang yang tahan kritik, menjaga wibawa ucapan, dan tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk membungkam kebenaran.